Menilik Kelesuan Hari Kartini
Menilik kelesuan hari Kartini
Oleh : Elman Nafiah
Hari ini, keresahan sepertinya menumpuk dikepala seiring dengan makin sepinya kondisi dan keadaan. Entah karena pandemi atau memang sewajarnya sepi, ada yang hening setiap hari perayaan.
Kita mungkin tak bakal kehilangan sosok kartini, minimal ketika jejak digital merekamnya
setiap tahun. Sejak Mei 1964, Kartini abadi dalam jejak perempuan Indonesia sebagai pemerjuang emansipasi. Beberapa tokoh lain yang kemudian bakal disebut setelah kartini
mungkin saja Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, dan satu dua nama lagi yang masih
biasa disebutkan. Sedikitnya tokoh-tokoh perempuan adalah bukti bahwa sejarah dan pengetahuan masih didominasi oleh maskulinitas. Namun bukan itu yang sebetulnya
membuat sepi perayaan hari ini.
Ada kelesuan ruang-ruang diskusi, dialog, dan semacamnya untuk kembali mengulas isu
maupun perjuangan perempuan. Kata-kata Kartini bertebaran dan roh perjuangan yang
hidup didalamnya tampak sebagai angin lalu yang bakal selesai seiring berganti hari. Semua kalimatnya dihidupkan, mereka semua yang bebas mengutipnya terkesan seperti
selesai dengan tugas-tugas masalalu. Semua sibuk dengan hari ini seolah-olah hanya itu
yang harus dirampungkan.
Tidak jauh berbeda, beberapa kegiatan publik hari ini dengan skala kecil maupun besar
juga sangat minim menyertakan kontribusi perempuan sebagai narasumber maupun panel
diskusi. Hal-hal lain seperti hak perempuan atas ruang publik juga sangat susah dipahami
oleh logika umum. Mengapa perempuan terkesan selalu meminta tempat khusus?
Mengapa seolah-olah semua pekerjaan perempuan diglorifikasi dan sedikit-sedikit
meminta pengakuan?
Semakin riuhnya suara-suara perempuan, semakin sepi tuntutan kesetaraan tersebut dikalangan perempuan sendiri. Persoalan perempuan terkesan tak pernah usai dan terus saja mengada. Semua lesu karena berulangkali membahas perempuan entah kepada orang yang sama, cara yang sama, atau generasi yang sama. Sama-sama masih saja
pasrah ketika diajak membahas perempuan sehingga secara naluriah menimbulkan
pandangan lemah terhadap perempuan karena harus mengulasnya.
Kartini dan orang-orang yang memahaminya kelihatannya tak akan pernah selesai
menjelaskan tentang pentingnya sebuah hak. Hari ini dan seterusnya mungkin kita akan terus-terusan menjelaskan bahwa perempuan masih bermasalah diruang publik, didalam rumah, dikomunitas, bahkan sampai dipikirannya. Bahwa saat perempuan sudah terbiasa
berkelindan dengan pilihan yang sebetulnya tidak akan dia pilih, dia akan menemukan
ketidak bebasan atas pilihan-pilihan setelahnya. Lebih-lebih ketimpangan struktural
disegala lini pertama kali akan menyasar perempuan sebagai kelompok yang rentan
termarginalkan.
Kartini tak mungkin memperjuangkan haknya hanya karena diabutuh membaca, menolak
poligami, belajar agama dengan sungguh-sungguh, atau hanya sekedar ingin menikmati
dari apa yang sudah ia dapatkan. Banyak kritikan masuk kepada Kartini, dipandang semata-mata dia mampu melakukannya hanya karena privilege yang melingkupinya.
Kartini menggunakan status keturunan bangsawannya dengan sungguh-sungguh dan
berkemauan. Semua capaiannya memberikan banyak perubahan sampai pada hari ini.
Ingatan saya melambung kepada banyak hal. Tentang perempuan sebagai shit jobs,
perempuan pekerja yang tidak diakui profesinya, perempuan pekerja seks, sampai politik
identitas. Privilege hampir tak dimiliki oleh mereka yang sering termarginalkan.
Kebebasan pada hari ini membuat privilege hampir tidak bisa disadari oleh yang
menikmatinya, tak terkecuali pelajar dan mahasiswa. Akses bebas informasi, buku,
berdiskusi tak seharusnya makin surut hanya karena semua makin bisa dilakukan sendiri -sendiri. Keterikatan diri kepada organisasi maupun komunitas juga menjadi privilege untuk
saling melengkapi kebutuhan dalam memahamkan berbagai macam hal.
Saya membayangkan bila saja Kartini masih hidup dihari ini, dia mungkin
mempertanyakan maksud kalimat "Selamat hari kartini" ditiap kelahirannya. Barangkali
tidak ada yang mau dihidupkan untuk dimatikan kembali, bahwa dia hanya tinggal jejak,
tinggal dikenang saja tanpa ada yang harus terus dihidupkan. Isu-isu yang masih ramai
dihari ini tak semestinya membuat kita abai. Sebagaimana Kartini, kita tak mesti
menikmati privilege itu untuk diri sendiri. Kita tak betul-betul mengerti arti kebebasan, saat
kita hanya menggunakan kebebasan untuk diri sendiri.
Lorong-lorong diskusi dan kolom-kolom dialog masih butuh keramaian. Masih banyak
yang berjuang dan membutuhkan keberpihakan, maka tidak sah kiranya hanya formalitas
ucapan, hari-hari merayakan. Selamat hari kartini.
Komentar
Posting Komentar